PURWODADI - Menikmati keindahan bunga anggrek, itu hal yang mudah. Tapi bagaimana bila mendeskripsikan karakteristiknya dan menyatakannya sebagai spesies baru? Untuk hal itu, ilmuwan pun kadang butuh waktu ratusan tahun, tak jarang ketidaktepatan klasifikasi harus dilalui.
Untuk mendeskripsikan Vanda frankieana sebagai anggrek spesies baru contohnya, ilmuwan butuh 140 tahun! Adalah peneliti Kebun Raya Purwodadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Destario Metusala dan pakar anggrek asal Singapura, Peter O'Byrne yang berhasil mendeskripsikannya.
Sebelum dideskripsikan sebagai spesies baru, Vanda Frankieana punya kisah panjang. Kisah bermula saat Johannes Elias Teijsmann dan Simon Binnendijk, peneliti Kebun Raya Bogor asal Belanda memunculkan identitas bunga itu untuk pertama kalinya pada tahun 1866.
Teijsmann yang menjadi kepala Kebun Raya Bogor ketiga (1830-1869) kala itu sedang aktif mengembangkan katalog tumbuhan dari nusantara. Vanda frankieana ialah salah satu bunga anggrek yang terjaring, namun kala itu dinamai Vanda crassiloba.
Hingga beberapa tahun setelah dinyatakan dalam katalog, belum ada publikasi spesies itu. Publikasi kedua baru muncul 49 tahun kemudian. Salah satu peneliti Kebun Raya Bogor, J.J Smith, pada tahun 1905 menyatakan bahwa Vanda crassiloba adalah spesies anggrek dari Ambon.
Perkembangan seputar Vanda crassiloba alias Vanda frankieana kemudian seolah berada di tangan J.J Smith. Dialah yang membuat pernyataan lewat publikasi, meragukannya lagi dalam publikasi berikutnya, hingga akhirnya malah berakhir menjadi misteri.
Pada tahun 1928, 23 setelah berselang, J.J Smith punya analisa bahwa Vanda crassiloba sebenarnya adalah spesies yang sama dengan Vanda saxatilis. Dengan demikian, dua spesies tersebut direduksi menjadi satu spesies saja.
Dalam reduksi, J.J Smith tiodak menyertakan spesimen yang diperoleh dari Ambon terkait publikasi tahun 1905. Ini menunjukkan bahwa J.J Smith belum memiliki gambaran jelas pada tahun 1905 sehingga salah mengklasifikasikan sebagai Vanda crassiloba.
Namun, pada publikasi tahun 1938, J.J Smith memublikasikan ilustrasi Vanda crassiloba bersebelahan dengan Vanda saxatilis. Ini mengindikasikan bahwa dia masih ragu dengan keputusan untuk mereduksi dan yakin bahwa Vanda crassiloba adalah spesies berbeda.
Setelah analisis, J.J Smith mengungkapkan bahwa Vanda crassiloba adalah "nomen nudum" atau nama yang tidak valid sebab tidak pernah disertai dengan deskripsi dan spesimen tipe. Setelah analisis ini, Vanda crassiloba menjadi misteri. J.J Smith tidak pernah menyatakannya sebagai spesies baru.
Destario dan O'Byrne adalah dua ilmuwan yang akhirnya berhasil menyatakannya sebagai spesies baru. Keduanya kemudian menamai ulang spesies yang dimaksud menjadi Vanda frankieana, sebagai penghormatan pada Frankie Handoyo, pegiat konservasi dan budidaya anggrek.
"Anggrek Vanda frankieana dapat dibedakan dengan kerabat dekatnya Vanda saxatilis antara lain karena dagu bunganya berbentuk memanjang, dengan ukuran 35 persen lebih panjang dari cuping sampingnya (sidelobes) dan dinding bagian dalam dagu bunganya memiliki rambut pendek halus yang cukup lebat," kata Destario.
"Sedangkan pada V. saxatilis, dagu bunganya memiliki panjang yang sama atau sedikit lebih pendek dari cuping sampingnya dan dinding bagian dalamnya polos tidak berambut," imbuh Destario dalam rilis yang diterima Kompas.com Senin (28/11/2011).
Destario juga menyatakan bahwa Vanda frankieana adalah anggrek yang secara alami tumbuh di Kalimantan. Anggrek ini memiliki 1-5 kuntum bunga yang besar, kaku dan mengkilat dengan lebar sekitar 4 cm. Tanaman anggrek ini bisa mencapai tinggi 50 cm.
Klasifikasi Vanda frankieana yang memakan waktu lama ini hanyalah salah satu contoh rumitnya penelitian taksonomi. Contoh lain ialah klasifikasi cacing acorn yang memakan waktu hampir setengah abad. Semula dikira hidup di laut dangkal, ternyata spesies itu hidup di laut dalam.
Deskripsi Vanda frankieana sebagai spesies baru akan dipublikasikan di Malesian Orchid Journal Volume 9 tahun 2012 nanti. Malesian Orchid Journal adalah jurnal yang khusus memuat penelitian taksonomi, ekologi dan konservasi kawasan Malesia, meliputi Filipina, Malaysia, Indonesia, Timot Timur dan Papua Nugini.
Destario menggarisbawahi bahwa walaupun penelitian taksonomi memakan waktu lama, namun tetap harus dilakukan. Tentang riset eksploratif menginventarisasi biodiversitas, kata Destario, Indonesia masih jauh kalah dibanding negara tetangga.
Source : Kompas
Posted in : Kompas
0 komentar: