Dhanang Puspita
Mungkin sebagian besar dari kita telah melupakan temuan Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald yang menggegerkan pada 1936: sebongkah fosil rahang Homo erectus menyeruak di kubah Sangiran, Jawa Tengah.
Bersamaan dengan peringatan 75 tahun penemuan pertama manusia purba itu, kini Museum Sangiran diresmikan kembali pada Kamis, 15 Desember lalu. Acara tersebut kemudian dirangkai dengan kunjungan peserta ke situs permukiman prasejarah Pacitan di Jawa Timur dan Konferensi Internasional selama dua hari di Sangiran.
“Semoga konferensi ini berkontribusi pada hasil penelitian saat ini, menguatkan teori, bahkan menggantinya,” tulis Harry Widianto, Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran dalam sambutannya.
Acara Konfererensi Internasional tersebut dilanjutkan dengan kuliah lapangan arkeologi di Sangiran hingga awal Januari 2012. Pesertanya para peneliti muda dari Puslitbang Arkenas, Balai Arkeologi, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, dan peserta dari Korea, Filipina, dan Perancis.
Mendunianya Sangiran bukan berawal pada terselenggaranya konferensi tersebut. Jauh sebelumnya, Koenigswald, seorang paleontolog dan geolog Jerman itu telah memperkenalkan Sangiran sebagai bukit penuh fosil di pedalaman Jawa kepada masyarakat ilmiah Eropa.
Hingga kini sekitar 65 persen fosil manusia purba di Indonesia, atau 50 persen fosil manusia purba di Bumi ini berasal dari Sangiran. Inilah salah satu situs terpenting peradaban manusia prasejarah, sehingga UNESCO memberikan label sebagai Warisan Dunia pada 1996.
Prof. Truman Simanjuntak, arkeolog senior dari Puslitbang Arkeologi Nasional, yang turut hadir dalam Konferensi Internasional itu melihat bahwa ada kemajuan dalam pengelolaan warisan sejarah dan budaya oleh pemerintah. “Museum ini membawa angin baru bagi perkembangan museum di Indonesia dengan penyajian yang kaya informasi tentang kepurbaan,” ungkapnya.
Wajah baru Museum Sangiran ini dipandang lebih menarik karena berlokasi di perbukitan yang bebas dari permukiman penduduk dan dilengkapi ruangan pamer yang memadai untuk pagelaran informasi purbakala. Museum ini juga menampilkan rekonstruksi sosok Manusia Floresiensis dan Manusia Sangiran hasil rekaan ilmuwan Perancis.
“Tentu kita tidak boleh puas di titik ini, Museum ini hendaknya menginspirasi pemanfaatan tinggalan masa lampau yang begitu sarat di Nusantara, termasuk pengembangan pemanfaatan Sangiran sendiri,” ungkap Truman berharap.
Arkeolog muda FIB UI, Ali Akbar mengungkapkan bahwa Museum Sangiran dirancang berbasis ilmiah dan ditampilkan dengan cukup baik karena tata pamer dilengkapi dengan program interaktif dan mendidik. “Salah satunya, dan ini merupakan kelebihan Sangiran sebagai museum situs,” Akbar menambahkan, “Ada aktivitas ekskavasi yang dapat disaksikan oleh pengunjung secara langsung.”
Pengunjung tidak hanya bertemu dengan benda mati, tetapi terlibat dengan komunitas peneliti yang aktif. Jika Museum Sangiran hanya mengandalkan pameran koleksi, nasibnya akan seperti museum lain. “Kuburan sedikitnya dikunjungi setahun sekali, tetapi museum biasanya dikunjungi sekali dalam seumur hidup,” ungkap Akbar prihatin.
Temuan-temuan Koenigswald–hingga hampir 30 tahun setelah wafatnya–masih menyisakan misteri peradaban purba di Jawa. Kini, Museum Sangiran menjadi media yang sangat penting untuk menjelaskan masyarakat mengenai apa yang terdapat di situs ini, siapa dan bagaimana cara peneliti bekerja, dan hasilnya bagi ilmu pengetahuan. (Oleh: Mahandis Y. Thamrin)
Bersamaan dengan peringatan 75 tahun penemuan pertama manusia purba itu, kini Museum Sangiran diresmikan kembali pada Kamis, 15 Desember lalu. Acara tersebut kemudian dirangkai dengan kunjungan peserta ke situs permukiman prasejarah Pacitan di Jawa Timur dan Konferensi Internasional selama dua hari di Sangiran.
“Semoga konferensi ini berkontribusi pada hasil penelitian saat ini, menguatkan teori, bahkan menggantinya,” tulis Harry Widianto, Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran dalam sambutannya.
Acara Konfererensi Internasional tersebut dilanjutkan dengan kuliah lapangan arkeologi di Sangiran hingga awal Januari 2012. Pesertanya para peneliti muda dari Puslitbang Arkenas, Balai Arkeologi, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, dan peserta dari Korea, Filipina, dan Perancis.
Mendunianya Sangiran bukan berawal pada terselenggaranya konferensi tersebut. Jauh sebelumnya, Koenigswald, seorang paleontolog dan geolog Jerman itu telah memperkenalkan Sangiran sebagai bukit penuh fosil di pedalaman Jawa kepada masyarakat ilmiah Eropa.
Hingga kini sekitar 65 persen fosil manusia purba di Indonesia, atau 50 persen fosil manusia purba di Bumi ini berasal dari Sangiran. Inilah salah satu situs terpenting peradaban manusia prasejarah, sehingga UNESCO memberikan label sebagai Warisan Dunia pada 1996.
Prof. Truman Simanjuntak, arkeolog senior dari Puslitbang Arkeologi Nasional, yang turut hadir dalam Konferensi Internasional itu melihat bahwa ada kemajuan dalam pengelolaan warisan sejarah dan budaya oleh pemerintah. “Museum ini membawa angin baru bagi perkembangan museum di Indonesia dengan penyajian yang kaya informasi tentang kepurbaan,” ungkapnya.
Wajah baru Museum Sangiran ini dipandang lebih menarik karena berlokasi di perbukitan yang bebas dari permukiman penduduk dan dilengkapi ruangan pamer yang memadai untuk pagelaran informasi purbakala. Museum ini juga menampilkan rekonstruksi sosok Manusia Floresiensis dan Manusia Sangiran hasil rekaan ilmuwan Perancis.
“Tentu kita tidak boleh puas di titik ini, Museum ini hendaknya menginspirasi pemanfaatan tinggalan masa lampau yang begitu sarat di Nusantara, termasuk pengembangan pemanfaatan Sangiran sendiri,” ungkap Truman berharap.
Arkeolog muda FIB UI, Ali Akbar mengungkapkan bahwa Museum Sangiran dirancang berbasis ilmiah dan ditampilkan dengan cukup baik karena tata pamer dilengkapi dengan program interaktif dan mendidik. “Salah satunya, dan ini merupakan kelebihan Sangiran sebagai museum situs,” Akbar menambahkan, “Ada aktivitas ekskavasi yang dapat disaksikan oleh pengunjung secara langsung.”
Pengunjung tidak hanya bertemu dengan benda mati, tetapi terlibat dengan komunitas peneliti yang aktif. Jika Museum Sangiran hanya mengandalkan pameran koleksi, nasibnya akan seperti museum lain. “Kuburan sedikitnya dikunjungi setahun sekali, tetapi museum biasanya dikunjungi sekali dalam seumur hidup,” ungkap Akbar prihatin.
Temuan-temuan Koenigswald–hingga hampir 30 tahun setelah wafatnya–masih menyisakan misteri peradaban purba di Jawa. Kini, Museum Sangiran menjadi media yang sangat penting untuk menjelaskan masyarakat mengenai apa yang terdapat di situs ini, siapa dan bagaimana cara peneliti bekerja, dan hasilnya bagi ilmu pengetahuan. (Oleh: Mahandis Y. Thamrin)
Source : nationalgeographic
0 komentar: